Pokok Perhatian
Fenomena sosial seperti kemiskinan merupakan salah satu fokus perhatian
peneliti ataupun akademisi dari sub disiplin Sosiologi Ekonomi. Dasar
pemikirannya adalah bahwa pembangunan suatu negara tidak hanya dilihat dari
sisi pertumbuhan ekonomi saja, melainkan juga harus dilihat dari segi
pemerataan pembangunan itu sendiri sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan
suatu negara. Ketidakmerataan dalam suatu pembangunan nasional sesungguhnya
tidak terbatas dari masalah kemiskinan saja. Golongan masyarakat miskin muncul
sebagai akibat perubahan struktur ekonomi menuju modern yang tidak seimbang.
Bila dalam suatu pembangunan mengabaikan pemerataan ekonomi maka dampak yang
timbul dari pembangunan tersebut adalah masalah-masalah kemiskinan dan
kesenjangan sosial. Dalam hal ini tentu sangat erat pertaliannya dengan masalah
struktur ataupun kelembagaan penyediaan
input produksi, proses produksi, hingga pada distribusinya. Pemerataan input
merupakan usaha
untuk
mendistribusikan kesempatan-kesempatan dalam segala sektor kehidupan masyarakat
dengan seadil-adilnya dengan mengusahakan program-program penunjang sebagai
suatu proses awal. Kemudian berlanjut pada pemerataan proses, yang mulai
membedakan faktor status sosial, suku, pendidikan, agama dan kondisi ekonomi.
Sedangkan pemerataan distribusi output cenderung melihat bagaimana keberhasilan
seseorang dalam mengakomodasikan kesempatan-kesempatan pemerataan yang telah
diberikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sepanjang penelusuran atas
perkembangan studi-studi Sosiologi Ekonomi di Indonesia, dapat dikemukakan
bahwa sebagian besar studi diarahkan terhadap bagaimana masyarakat memenuhi
kebutuhan dan mencapai kemakmuran atau kesejahteraan. Topik itu sering tidak terpisahkan dengan topik-topik
kemiskinan yang menjadi fokus perhatian studi Sosiologi Ekonomi, hingga
mengarah pada model pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Pada sisi lain,
dampak pembangunan nasional terutama sejak masa orde baru juga banyak diteliti
mengingat kebijakan pembangunan hingga saat ini dilihat belum mampu menciptakan
kesejahteraan masyarakat, bahkan terkesan belum berhasil menciptakan
inklusifitas dalam pembangunan di segala sektor. Adapun teori yang digunakan
sebagian besar menerapkan teori-teori
ataupun konsep Kapital Sosial, teori pilihan rasional, dan teori teori
kelembagaan. Jumlah studi ini secara
kuantitatif relatif banyak, bahkan telah
menghasilkan sekian banyak disertasi. Pada beberapa waktu terakhir mulai marak
diteliti mengenai tindakan ekonomi aktor dalam dinamika pembangunan nasional,
tentunya dengan aplikasikan Sosiologi Ekonomi. Studi Sosiologi Ekonomi mulai
merambah ke sektor tenaga kerja, sektor industri terutama industri tekstil yang
pernah menjadi harapan perekonomian masyarakat, dan tentunya studi-studi
Sosiologi Ekonomi yang menganalisis struktur dan kelembagaan ekonomi petani,
mengingat masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih tergantung sector
pertanian. Berlatar belakang dari hal
tersebut, pada bagian ini akan diuraikan secara ringkas beberapa studi-studi
yang mengaplikasikan Sosiologi Ekonomi, antara lain meliputi studistudi
kemiskinan dan kesejahteraan, studistudi bidang ketenagakerjaan, kelembagaan
ekonomi masyarakat, serta studi-studi kebijakan pembangunan.
Studi Kemiskinan
Orientasi utama
studi-studi mengenai kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat adalah cita-cita
kemerdekaan Indonesia
seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yaitu terciptanya masyarakat yang
“adil dan makmur”. Meskipun banyak
studi-studi mengenai kemiskinan yang telah dilakukan di Indonesia, pada
pembahasan ini penulis mengemukakan pendapat Sitorus (1999) mengenai bagaimana
ia menyarikan hasil-hasil penelitian Sajogyo yang terkenal dengan teori garis
kemiskinan (1971) dan pemikiran lainnya yang lahir dari studi-studi yang
dilakukan hingga penghujung tahun 2000-an, mengenai bagaimana pembangunan
pertanian mampu memakmurkan masyarakat petani.
Pertanian
sebagai salah satu kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia perlu mendapat perhatian
karena seperti diketahui bahwa pertanian adalah dasar pengembangan kegiatan
ekonomi masyarakat. Berdasarkan itu,
Sitorus (1999) mengemukakan beberapa proposisi yang disarikan dari hasil
penelitianpenelitian Sajogyo mengenai kemisikinan di Indonesia , khususnya masyarakat
pedesaan yang sebagian besar menggeluti kegiatan ekonomi usahatani. Proposisi
pertama bahwa kondisi kemiskinan adalah hasil konstruksi yang bersifat
struktural. Kemiskinan secara kuantitatif diukur dengan Indeks Mutu Hidup yang
terdiri dari indikator-indikator komposit seperti tingkat melek huruf,
pendidikan, tingkat kematian bayi, harapan hidup, dan fertilitas yang
mencerminkan ukuran sosiologis, bukan seperti indikator lainnya yang lebih
bersifat ukuran ekonomi.
Di Indonesia,
perkembangan studi mengenai kesejahteraan pada beberapa waktu terakhir ini
masih relatif tertinggal jika dibandingkan pada dekade 1980-an yang relative
marak melalui studi kemiskinan, ataupun studi kemakmuran dan pemerataan
pembangunan, termasuk studi mengenai kualitas hidup masyarakat yang sudah tentu
sangat terkait dengan kesejahteraan masyarakat. Pada perkembangannya, tingkat
kesejahteran tidak hanya diukur berdasarkan indikator fisik, melainkan telah
mulai digagas mengenai indikator non fisik seperti peran kebijakan negara
maupun ketersediaan potensi kapital, terutama kapital sosial (Castelli et
al., 2009).
Proposisi kedua
adalah pencapaian kondisi kemakmuran masyarakat memprasyaratkan kondisi
keadilan dalam alokasi sumber daya ekonomi. Dalam konteks ini jelas sekali
dimensi ruang-ruang inklusif menjadi salah satu fokus perhatian dalam
studi-studinya Sajogyo. Gambaran inklusifitas dikemukakan dengan menganjurkan
konsepsi “delapan jalur pemerataan” yang saat pemerintahan orde baru menjadi
salah satu andalan dalam melaksanakan kebijakan pembangunan yang tertuang dalam
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) sebagai amanat dari UUD 1945 sebelum
diamandemen.
Propisisi
ketiga tentang transformasi menuju
struktur kemakmuran menemukan pola idealnya dalam gerakan masyarakat yang
dijiwai moral solidaritas sosial seperti yang digagas Durkheim, baik
solidaritas mekanik maupun sebaliknya solidaritas organik yang sarat dengan
pamrih. Gerakan sosial yang mesti
digagas adalah mengembangkan dan memberdayakan kelompok-kelompok kecil
keswadayaan dan mengembangkan hubungan kemitraan antara elit dan masyakat, dan juga hubungan antar aktor di setiap
lapisan masyarakat.
Proposisi
keempat adalah bahwa gerakan masyarakat berorientasi kemakmuran memprasyaratkan
adanya ruang sosial otonom yang bebas dari dominasi struktural kekuatan politik
supra lokal. Dalam hal ini dampaknya mulai menunjukkan perubahan yang berarti
sejak masa reformasi yang mengedepankan aspek demokrasi dan desentralisasi
terutama dengan didukung undang-undang mengenai otonomi daerah (UU. No. 22
tahun 1999). Sementara itu, terdapat pula studi yang mengkaitkan kemiskinan
dengan kapital social seperti yang dilakukan Prayitno (2004). Studi untuk disertasinya itu salah satunya
mengungkapkan bahwa keluarga miskin yang memiliki ketahanan ekonomi dicirikan
dengan adanya kapital sosial.
Studi-studi Bertemakan Kapital Sosial.
Di Indonesia,
studi-studi sosiologi ekonomi yang berkembang pesat saat ini adalah studi yang
mengambil topik kapital social dikaitkan dengan kesejahteraan dan pengembangan
ekonomi wilayah, termasuk yang banyak diinisiasi oleh World Bank. Beberapa
hasil studi yang dituangkan dalam disertasi antara lain dilakukan oleh Ibrahim
(2002) yang memusatkan perhatiannya pada aspek kehidupan berorganisasi sebagai
modal social komunitas, kemudian Nurnayetti (2006) yang menganalisis kapital
sosial dan pemberdayaannya dalam pengelolaan irigasi di Sumbar; dan masih
banyak studi lainnya, termasuk studi kuantitatif yang dilakukan oleh Vipriyanti (2007) yang
menganalisis bagaimana keterkaitan antara kapital sosial dengan pembangunan ekonomi
wilayah. Selain itu, studi mengenai kapital sosial juga dilakukan atas inisiasi
World Bank yang antara lain dilakukan Grootaert (1999) yang menganalisis
mengenai kepadatan jaringan sosial.
Studi-studi itu
secara umum memiliki persamaan dalam hal konsep yang digunakan, ataupun
indikator dan metode pengukuran yang digunakan.
Indikator kapital sosial masih bertumpu pada norma, aspek kepercayaan,
dan jaringan sosial, dengan perkembangan pada aspek detailnya pengukuran
indicator seperti yang ditunjukkan oleh Vipriyanti (2007) dengan mengukur
tingkat trust (meliputi general trust, thin trust, dan thick trust), demikian
juga pengukuran jaringan social dengan menambahkan indeks kepadatan jaringan
kerja dan indeks partisipasi dalam analisisnya, selain menganalisis kuat
lemahnya ikatan sosial (strong and weak ties) dalam indikator jaringan sosial.
Penelitian Ketenagakerjaan dan Kelembagaan.
Satu hal lagi
yang ingin dikemukakan mengenai studi yang relevan dengan sub disiplin
Sosiologi Ekonomi adalah topik strategi nafkah atau mata pencaharian yang juga
sudah barang tentu sangat erat pertaliannya dengan kesejahteraan, dan juga
aspek konsumsi dalam segi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Strategi nafkah
masyarakat yang dihubungkan dengan konteks transformasi struktur agraria adalah
salah satu topic yang sampai kini masih banyak dilakukan terutama oleh kalangan
akademisi ataupun sosiologi pertanian di Indonesia (Dharmawan, 2007). Dalam
kerangka itu, topik-topik yang juga erat hubungannya dengan itu adalah mengenai
sistem okupasi dan ketenagakerjaan yang juga masih banyak digeluti dalam
mengembangkan ranah akademis, khususnya untuk sub disiplin Sosiologi Ekonomi.
Topik mengenai
kelembagaan ekonomi, seperti lembaga koperasi, perbankan, lembaga pemasaran,
hingga lembaga keuangan yang sangat mendukung kegiatan ekonomi masyarakat,
relatif masih belum banyak mendapat perhatian para akademisi atau peneliti dari
sub disiplin Sosiologi Ekonomi. Dalam kerangka ini, Rintuh dan Miar (2003)
mengemukakan pandangan bahwa pembahasan mengenai pentingnya penguatan
kelembagaan mesti menjadi salah satu focus studi mengingat kelembagaan
merupakan penggerak pembangunan dan ekonomi rakyat. Kelembagaan yang dimaksud
meliputi kelembagaan yang terbentuk akibat ikatan sosial, maupun sebagai hubungan
ekonomi dalam masyarakat. Koperasi sebagai salah satu kelembagaan ekonomi
relatif banyak mendapat perhatian, disamping kelembagaan lainnya seperti
kelembagaan pasar, kelembagaan pendidikan dan penyuluhan, kelembagaan
pembangunan lokal, dan kelembagaan permodalan atau keuangan.
Hal yang
terakhir ini, telah relative banyak menjadi fokus perhatian peneliti, seperti
halnya yang telah dilakukan oleh Sira (2009) yang melakukan studi mengenai
lembaga keuangan mikro yang berdasar syariah.
Penelitian ini pada intinya mengkaji secara sosiologis lembaga keuangan
mikro berbasis syariah. Studi ini secara ringkas dapat menjelaskan bagaimana
sistem bagi hasil dalam sistem keuangan syariah (tradisi) bersifat hybrid
karena merupakan kelembagaan sosial informal yang diadopsi dan
dikontekstualisasikan dalam sebuah makna dan kondisi tertentu sebagai sistem
kelembagaan keuangan yang khas. Pada sisi lainya, harus disadari bahwa
studi-studi mengenai kelembagaan ekonomi masih perlu digeluti secara mendalam,
terutama mengkaji mengenai kelembagaan koperasi sebagai basis ekonomi
kerakyatan di Indonesia ,
serta kelembagaan pemasaran yang kita yakini akan relatif mampu memberikan arah
bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Selain itu, aspek kelembagaan keuangan
terutama dalam pembangunan ekonomi pedesaan telah banyak diteliti oleh Pusat
Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi Pertanian, yang antara lain dilakukan oleh
Ashari (2006) mengenai lembaga keuangan mikro di perdesaan.
PENERAPAN SOSIOLOGI EKONOMI DALAM
PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT: Tinjauan Atas PemerintahSwasta-Masyarakat dalam
Pembangunan
Ekonomi Masyarakat Kebijakan Pembangunan
Ekonomi di Indonesia
Pembahasan pada
bagian ini perlu diawali dengan mengemukakan pendapat Rahardjo (2009) mengenai
teori pembangunan Dunia Ketiga, mengingat hal ini penting untuk menggambarkan
bagaimana dinamika kebijakan pembangunan social ekonomi di Indonesia yang
senyatanya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakatnya. Menurutnya di Dunia
Ketiga berkembang dua perspektif dan pendekatan. Pertama perspektif kapitalisme
pasar bebas dengan pendekatan kapital, dan yang kedua adalah perspektif
sosialis dengan pendekatan sumber daya manusia.
Kegagalan dua
perspektif itu menghasilkan perspektif yang bersifat alternatif, yaitu aliran
sosial demokrasi di dunia maju dan aliran strukturalis di Dunia Ketiga. Di
Indonesia sendiri pendekatan strukturalis melahirkan alternatif aksiologi
menuju perekonomian mandiri yang terjadi setelah terpenuhinya kebutuhan pokok
masyarakat dan terbangunnya prasarana dan ketersediaan tekonologi tepat guna,
tentu dengan catatan dapat dimanfaatkan dan diberdayakan secara merata dan adil
bagi masyarakat.
Sementara
pendapat Damanhuri (2009) mengemukakan bahwa selaras dengan sumber normatif
pembangunan perekonomian nasional seperti yang tercantum dalam beberapa pasal
UUD 1945, maka secara ideologis jelas posisi kebijakan-kebijakan pembangunan
yang diambil sangat dekat dengan aliran atau mazhab sosial demokrat dengan
melaksanakan model negara kesejahteraan / MNK (Welfare State Model).
Model negara
kesejahteraan ini membangun sistem perekonomian masyarakatnya melalui beberapa
ciri-ciri dari MNK seperti berikut: (i) Adanya peranan negara yang sedemikian
luas, bersih dan kredibel yang mampu melaksanakan politik redistribusi kekayaan
antara lain melalui kebijakan pajak progresif.
Ciri ini tentu erat kaitannya dengan bagaimana suatu negara melalui
pemerintahannya mampu menciptakan ruang inklusifitas dalam pembangunannya; (ii)
Terdapat kebebasan pers dan politik yang luas dengan mekanisme pasar yang
sehat, dengan melibatkan peran swasta yang juga luas mengacu pada peraturan dan
perundang-undangan yang dijalankan secara konsekuen dan konsisten; (iii)
Berkembangnya peran masyarakat yang diindikasikan dari pentingnya peran serikat
pekerja, peran berbagai organisasi dan profesi dalam bingkai masyakat madani
(civil society); (iv) Terdapat peran penting koperasi dalam mewujudkan keadilan
ekonomi dan
sosial
masyarakat seperti yang ditunjukkan dalam perekonoian di negara-negara
Skandinivia yang berhasil mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat pada level
tertinggi karena keberhasilan pengembangan koperasinya.
Dalam kerangka
pelaksanaan model negara kesejahteraan, terdapat satu hal yang perlu mendapat
perhatian lebih serius dari para peminat dan pemikir Sosiologi Ekonomi di
Indonesia, yakni sejauh mana studi-studi mengenai koperasi sebagai bentuk soko
guru perekonomian masyarakat yang berlandaskan kekeluargaan dapat dijadikan
wadah untuk berusaha mencapai kesejahteraan dengan tetap mempertimbangkan kondisi
sosiologis dan sumberdaya lokal. Pada
sisi lain, system kapitalisme mesti diantisipasi dengan tetap bersandar pada
kerangka ideologis perekonomian Indonesia
seperti yang diamanatkan UUD 1945.
Senyatanya
terdapat satu pelajaran penting untuk dicermati mengenai kegagalan kapitalisme
atau oleh Achwan (2009) disebut sebagai superkapitalisme yang berkembang saat
ini, yakni dengan munculnya fenomena krisis keuangan global akhir-akhir ini.
Superkapitalisme itu dicirikan oleh dominasi sistem keuangan dalam menggerakkan
system keuangan dan sistem ekonomi dunia. Lebih lanjut diutarakan bahwa system
superkapitalisme juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara
pemerintah, swasta dalam hal ini pemilik saham, dan masyarakat konsumen.
Peran Tripartit Pemerintah-SwastaMasyarakat
Hubungan dan
peran antara Negara (pemerintah), korporasi (swasta), dan masyarakat sering
menjadi topik menarik dalam menganalisis teori-teori pembangunan social ekonomi
masyarakat. Hal ini banyak disoroti oleh Martinussen (1997), dalam bukunya
Society, State, & Market: A Guide to Competing Theories of Development.
Pembahasan mengenai peran pemerintah, swasta dan masyarakat yang pada sebagian
besar studi-studi belakangan ini disebut sebagai hubungan tripartit, senyatanya
melihat bagaimana peran masing-masing kekuatan tripartite tersebut dalam
pembangunan, hingga mengkaji juga pola hubungan dan dominasi peran
elemen-elemen pembangunan tersebut.
Sementara itu,
dalam pembangunan pertanian di Indonesia yang merupakan bagian dari pembangunan
sosial ekonomi nasional, peran pemerintah, swasta dan masyarakat juga
dikemukakan oleh Arifin (2005) terutama untuk menyoroti paradigma kebijakan dan
strategi revitalisasi pertanian nasional.
Menurutnya, pengembangan industrialisasi pertanian dengan menerapkan
strategi kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat adalah suatu strategi yang baru
berkembang pada beberapa waktu belakangan ini.
Lebih lanjut
Arifin (2005) mengemukakan elemen pertama dalam kemitraan tripartit adalah
negara ataupun pemerintah yang merupakan lembaga publik dengan fungsi
menyelenggarakan dan menciptakan kesejahteraan umum, yang antara lain dilakukan
dengan kegiatan-kegiatan pembangunan. Pada kerangka ini, peran pemerintah
(negara) dalam falsafah kemitraan tripartite bergeser dari yang semula sebagai
penggerak utama pembangunan, ke arah peran sebagai fasilitator dan dinamisator
pembangunan sosial ekonomi.
Peran tersebut
meliputi perumusan kebijakan, fasilitasi infrastruktur, penyediaan dan
pengembangan inovasi teknologi, dukungan subsidi, anggaran pembangunan yang
berprinsip berkeadilan dan dukungan politik bagi pengembangan usaha pertanian.
Lembaga ini memiliki kekuasaan yang bersifat regulatif yang berperan dalam
mengatur kehidupan bersama. Dalam aspek ini, dapat dijelaskan fungsi negara
sebagai pengatur elemen-elemen pembangunan. Kedua, adalah elemen swasta atau
korporasi yang memiliki ruang gerak pada area publik melalui produksi hingga
transaksi jual-beli barang dan jasa yang berorientasi pada keuntungan. Dunia
usaha ini baik langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang sedemikian
penting bagi pembangunan sosial ekonomi nasional.
Pada
perkembangan terkini, sorotan yang relatif tajam sering tertuju pada peran
dunia usaha yang dianggap mementingkan orientasi maksimalisasi keuntungan dan
melupakan falsafah moral maupun tanggung jawab sosial. Aspek yang terakhir ini
berkembang dan sering dikaji sebagai suatu pembahasan yang memunculkan
paradigma baru “Corparate Social Responsibility/CSR” yang mengutamakan
keberlanjutan dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan sosial ekonomi
nasional.
Elemen Ketiga,
adalah masyarakat yang berinteraksi pada ruang publik atas dasar tata nilai dan
perilaku sosial tertentu, yang saat ini tidak lagi hanya menjadi obyek
pembangunan, melainkan bergeser perannya sebagai subyek yang menentukan
pembangunan sosial ekonomi bangsa. Peran dan hubungan simteris dari ketiga
elemen pembangunan itu, merupakan prasyarat utama dalam strategi pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan, seperti yang banyak diungkapkan dalam beberapa hasil
studi belakangan ini.
Di Chili,
Campana (2000) mengemukakan bahwa kemitraan (partnership) antara pemerintah,
swasta, dan institusi multilateral yang berkembang dalam komunitas local
ternyata mampu menekan angka kemiskinan masyarakat di pedesaan Chili, melalui
program-program pembangunan pertanian yang diinisiasi pemerintah Chili. Dalam
konteks operasionalisasi program pembangunan pertanian, keterlibatan dan
dukungan lembaga swadaya masyarakat (NGO’s) sangat kental terutama melalui
inisiatifnya dalam mengembangkan demokratisasi proses pembangunan yang diawali
dari perencanaan dan desain program hingga kontrol terhadap pelaksanaan
pembangunan pertanian di Chili.
Hubungan antara
komunitas desa melalui organisasi-organisasi sosial desa dengan LSM pertanian
maupun dengan pemerintah sedemikian kuat terutama dalam proses transfer
teknologi, sehingga mampu meningkatkan kinerja pembangunan pertanian di
pedesaan Chili. Hasil studi lainnya juga dikemukakan oleh Jiwa (2005) yang
mengemukakan mengenai model hubungan tripartite dalam mendukung usaha produksi
madu di Kenya. Pada intinya, Jiwa (2005) menggambarkan ”Honey Care’s Tripartite
Model” antara pemerintah-sektor swasta-komunitasdesa mampu mempromosikan usaha
kecil ke arah pengembangan komunitas berkelanjutan.
0 comments:
Post a Comment